Wakil Menteri PANRB Purwadi Arianto saat memberikan arahan dalam Diseminasi Praktik Baik Pelayanan Publik: Menyebarkan Inovasi, Menguatkan Sinergi, dan Menggerakkan Inklusi, di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
JAKARTA – Reformasi pelayanan publik dan pemanfaatan teknologi yang tepat akan menghasilkan layanan yang lebih cepat, lebih pasti, mudah diakses, serta inklusif. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Purwadi Arianto mengatakan bahwa inovasi pelayanan publik menjadi salah satu mesin percepatan transformasi.
“Inovasi bukan sekadar ide baru, tetapi cara untuk memotong proses yang berbelit, meningkatkan kepastian layanan, serta menghadirkan negara secara lebih dekat dan lebih manusiawi bagi masyarakat,” ujarnya dalam Diseminasi Praktik Baik Pelayanan Publik: Menyebarkan Inovasi, Menguatkan Sinergi, dan Menggerakkan Inklusi, di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Lebih lanjut disampaikan, kebutuhan masyarakat dan perkembangan global yang dinamis membawa pergeseran dalam pelayanan publik. Pelayanan dituntut semakin berorientasi ke masa depan, digital dan inovatif, proaktif dan terpersonalisasi, berbasis data, serta melibatkan masyarakat secara aktif.
“Pergeseran inilah yang mendorong transformasi menuju pelayanan publik yang lebih humanis, dirancang mengikuti siklus hidup masyarakat, tersedia secara omni-channel, dan didukung oleh umpan balik berkelanjutan,” ungkap Purwadi.
Untuk itu, lanjut Purwadi, inovasi pelayanan publik merupakan cara negara menghadirkan layanan yang lebih dekat, lebih cepat, dan lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat. Purwadi menekankan, inovasi bukan sekadar melahirkan ide baru, tetapi harus menjadi solusi nyata yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
“Karena itu, inovasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari transformasi pelayanan publik, agar layanan yang kita bangun semakin inklusif, adaptif, dan berkelanjutan,” tuturnya.

Menurutnya, inovasi pelayanan publik saat ini bukan lagi sebagai pelengkap, tetapi telah menjadi bagian penting dari cara birokrasi menjawab kebutuhan masyarakat secara lebih relevan, efektif, dan berdampak. Untuk itu, pembinaan inovasi perlu diarahkan tidak hanya pada penciptaan ide, tetapi juga pada pengembangan, pelembagaan, dan penyebarluasan praktik baik agar manfaatnya dirasakan lebih luas.
Lebih jauh Purwadi mengatakan, pelayanan publik harus lebih peka terhadap keberagaman kebutuhan masyarakat. Inklusivitas bukan hanya soal menyediakan akses fisik, tetapi juga menghadirkan rasa aman, informasi yang mudah dipahami, komunikasi yang ramah, serta aparatur yang memiliki empati dan kompetensi dalam melayani kelompok rentan.
Terkait, praktik baik, Purwadi menekankan untuk dijaga agar tidak bergantung pada figur atau momentum tertentu. Standar ini memastikan layanan dibangun, menjadi jelas, terukur, dan mudah diakses oleh masyarakat.
“Keterlibatan masyarakat dalam proses ini menjadi kunci agar standar yang ditetapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan riil di lapangan,” jelasnya.
Sebagai langkah prioritas, lanjut Purwadi, terkait pentingnya arah kebijakan dari praktik baik menuju perubahan yang berkelanjutan dapat dilakukan melalui tiga pengungkit utama. Pertama, mendorong replikasi dan perluasan dampak praktik baik pelayanan publik agar inovasi tidak berhenti pada satu instansi, tetapi memberi manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Kedua, melembagakan inovasi ke dalam standar pelayanan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga praktik baik menjadi bagian dari sistem yang berkelanjutan lintas waktu dan kepemimpinan. Terakhir, memperkuat kolaborasi dan pembelajaran bersama lintas instansi untuk membangun ekosistem pelayanan publik yang adaptif.

Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Otok Kuswandaru menjelaskan kegiatan diseminasi ini dilaksanakan untuk memastikan bahwa praktik terbaik pelayanan publik hasil Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2025, khususnya 28 Outstanding Public Service Innovations (OPSI), tidak berhenti pada tahap apresiasi dan pengakuan semata, tetapi dapat memberikan dampak yang lebih luas melalui pemanfaatan, pengembangan, dan penerapan oleh instansi pemerintah lainnya.
Selain itu, pada kegiatan itu juga dilakukan diseminasi atas praktik baik penyelenggaraan inklusivitas, khususnya pada sektor kesehatan, pendidikan, dan transportasi. “Ketiga sektor tersebut memiliki tingkat interaksi tertinggi dengan masyarakat serta menuntut penguatan koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah guna mendorong perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada inklusivitas,” ungkapnya.
Adapun dalam kegiatan itu menghadirkan para narasumber yang ahli dalam bidangnya. Pada sesi pertama, Gubernur Jawa Tengah Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi menjelaskan terkait pelayanan publik. Dikatakan, siapun yang mempunyai unsur melayani masyarakat, harus setara.
“Siapun yang mempunyai unsur melayani masyarakat, dia tidak boleh menjadi ‘ndoro’, dia harus setara. Baik bupati, gubernur, wagub, asisten, siapapun di birokrasi kita, dia harus setara dalam rangka memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat. Itu adalah hukum alam, sehingga kepercayaan masyarakat akan kita dapat, karena kita adalah birokrasi melayani," ujarnya.

Selain itu, Luthfi menjelaskan pelayanan ditetapkan kepada subyeknya yakni manusia. “Sebaik apapun fitur pelayanan yang kita punya, kalau pelayanannya tidak pada tepat sasaran, kalau subyek yang tidak mengerti tentang itu, tidak ada gunanya,” tuturnya.
Lutfhi juga memaparkan terkiat Program Spesialis Keliling (Speling), yang merupakan program unggulan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Untuk diketahui, program ini merupakan upaya yang dilakukkan Gubernur Jawa Tengah melalui Dinas Kesehatan dan tujuh RSUD milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat dari beberapa masalah kesehatan prioritas, seperti TBC, Kanker Serviks, dan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Selanjutnya, narasumber yang kedua Wakil Bupati Magetan Suyatni Priasmoro menjelaskan Inovasi Puspa Hunting. Terobosan ini dikembangkan dalam rangka percepatan penurunan stunting dan penuntasan TB. Dijelaskan latar belakang lahirnya inovasi ini adanya keterkaitan antara TB dan stunting, dimana infeksi TB menghambat penyerapan nutrisi sehingga memperburuk stunting, dan sebaliknya stunting menyebabkan balita rentan terinfeksi TB karena imun tubuh lemah.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan kebijakan terkait penanganan hal itu. “Di Magetan ditetapkan kebijakan semua balita stunting harus didiagnosa, ditangani oleh dokter spesialis anak. Supaya begitu ketahuan TBC dapat segera ditangani,” jelasnya.

Adapun narasumber ketiga pada kegiatan itu yakni Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Banyuwangi M. Y. Bramuda memaparkan strategi Kabupaten Banyuwangi dalam peningkatan lapangan pekerjaan. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memanfaatkan birokrasi dalam mengubah budaya kerja baru, sebagai peluang mesin untuk pencipta lapangan pekerjaan. Dikatakan, di Banyuwangi, pemerintah daerah hadir sebagai job enabler dengan tiga konsep.
“Pertama adalah memfasilitasi ekosistem kerja, yang kedua adalah menghubungkan pasar, SDM, model, dan teknologi, yang ketiga adalah mengkurasi potensi potensi lokal agar benar-benar menjadi peluang ekonomi. Maka bagi kami pelayan publik itu tidak diukur dari cepat atau tidaknya layanan, tetapi bagaimana bertambah atau tidaknya warga dalam bekerja,” pungkasnya. (HUMAS MENPANRB)








