Suasana Sosialisasi Edukasi Anti Korupsi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Jakarta, Kamis (19/6/2025).
JAKARTA - Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Widyaiswara Ahli Madya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Indra Furqon mengatakan bahwa konteks pegawai negeri yang dimaksud tidak hanya PNS, namun sebagaimana yang di maksud dalam Undang-undang (UU) tentang Kepegawaian dan KUHP, termasuk orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, serta korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
"Pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara ini diatur dalam UU No. 20/2021 pasal 12B ayat 2," jelasnya saat menjadi narasumber Sosialisasi Edukasi Anti Korupsi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Definisi dan bentuk gratifikasi secara detail dijelaskan pada Pasal 12B UU No. 20/2021.
Indra mengatakan bahwa berdasarkan survey partisipasi publik yang dilakukan KPK pada tahun 2019, hanya 37 persen responden segmen masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi. "Selain itu hanya 13 persen responden segmen pemerintah yang pernah lapor gratifikasi," ujarnya.
Menurutnya, gratifikasi dianggap sebagai hal kecil namun memberikan dampak besar yang sangat merugikan. "Gratifikasi juga sering diberikan secara tidak langsung dan menyasar kepada anggota keluarga," kata Indra.
Namun demikian, menurut Indra terdapat gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Jenis gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan dijelaskan pada Peraturan KPK RI No. 2/2019. "Gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan secara garis besar yang tidak memiliki konflik kepentingan sebagaimana yang telah diatur peraturan KPK RI No.2/2019 seperti pemberian keluarga, hadiah kejuaraan, hadiah undian, penghargaan, dan lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut Indra mengatakan bahwa tidak sepantasnya pegawai negeri atau pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang mereka berikan. Seseorang pegawai atau pejabat tidak berhak meminta dan mendapat sesuatu melebihi haknya dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab dan kewajibannya. "Karena senilai uang yang kita terima, sebesar itu pula harga diri kita dimata pemberi gratifikasi," tambahnya.
Sementara itu Kepala Biro SDM, Organisasi, dan Hukum Kementerian PANRB Sri Rejeki Nawangsasih mengatakan bahwa untuk memperkuat pencegahan gratifikasi di lingkungan instansi pemerintah, Kementerian PANRB telah diterbitkan Peraturan Menteri PANRB No. 17/2024 tentang pengelolaan konflik kepentingan di lingkungan instansi pemerintah. "Peraturan ini diterbitkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan dan tindakan administrasi, serta menjaga integritas birokrasi," jelasnya.
Sri Rejeki juga mengatakan sosialisasi yang digelar bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), seluruh pegawai, dan rekanan penyedia barang dan jasa di lingkup Kementerian PANRB tersebut untuk pengingat dan menambah wawasan terkait gratifikasi. "Sosialisasi ini sebagai reminder. Agar kita bisa lebih paham dan mengetahui modus baru gratifikasi seperti apa. Jangan sampai ketidakpahaman terkait gratifikasi ini bisa memicu suatu permasalah secara individu maupun organisasi," tambahnya. (kar/HUMAS MENPANRB)