Pin It

20250619 World Bank Garis Kemiskinan BPS Tetap Relevan untuk Kebijakan NasionalLogo Bank Dunia. (Foto: Istimewa)

 

Jakarta, InfoPublik - Bank Dunia atau World Bank menyarankan agar pemerintah Indonesia tetap menggunakan standar penghitungan garis kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Hal ini diungkapkan oleh Bank Dunia dalam Lembar Fakta atau Factsheet berjudul "The World Bank's Updated Global Poverty Lines: Indonesia" yang rilis pada 13 Juni 2025.

World Bank atau Bank Dunia mengakui bahwa pihaknya menggunakan survei rumah tangga resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), yakni Susenas untuk mengukur kemiskinan pada garis kemiskinan internasional, sumber data yang sama yang digunakan oleh pemerintah Indonesia.

Susenas adalah singkatan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional. Ini adalah survei yang diselenggarakan oleh BPS untuk mengumpulkan data mengenai kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga di Indonesia.

Namun, metode untuk mengukur kemiskinan BPS dan Bank Dunia berbeda. Kemiskinan yang diukur menurut pendekatan Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan internasional disesuaikan dengan tiga jenis perbedaan harga: perbedaan harga dari waktu ke waktu (menggunakan indeks harga konsumen), perbedaan harga antar distrik (Kabupaten/Kota, menggunakan ukuran biaya hidup lokal), dan perbedaan harga antar negara (menggunakan penyesuaian terkait PPP).

Menurut Bank Dunia, data yang dipakai oleh BPS dinilai lebih sesuai untuk merancang program bantuan sosial (BPS), bantuan langsung tunai, dan bantuan lainnya.

"Tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah yang paling tepat," tegas Bank Dunia, dikutip pada Kamis (19/6/2025).

Sebelumnya, Bank Dunia telah menaikkan garis kemiskinan dunia, mempertimbangkan adopsi ukuran purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli terbaru, yakni 2021 PPP dari sebelumnya 2017 PPP. Implikasinya, tingkat kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia ikut naik.

Dalam dokumen bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)" Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan setelah mengadopsi 2021 PPP, yang telah dipublikasikan Bank Dunia dalam The International Comparison Program (ICP) edisi Mei 2025.

PPP itu sendiri merupakan metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini di pasar keuangan, melainkan paritas daya beli. USD1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03, berdasarkan penjelasan Badan Pusat Statistik (BPS).

"Penerapan PPP tahun 2021 juga menyiratkan revisi terhadap garis kemiskinan global," dikutip dari dokumen pembaruan Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025.

Tiga garis kemiskinan global yang telah direvisi bank dunia mempertimbangkan 2021 PPP itu ialah dari USD2,15 menjadi USD3,00 untuk garis kemiskinan internasional atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem.

Sementara itu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah dari USD3,65 menjadi US$4,20, dan ukuran untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, seperti Indonesia di dalamnya, dari semula sebesar USD6,85 2017 PPP menjadi USD8,30 2021 PPP.

Dengan ukuran garis kemiskinan terbaru itu, melalui data di dalam https://pip.worldbank.org/country-profiles/IDN, Bank Dunia mencatat bahwa tingkat kemiskinan Indonesia yang masuk kategori negara berpendapatan tinggi ialah sebesar 68,3 persen dari total jumlah penduduk pada 2024 sebanyak 285,1 juta jiwa. Dengan begitu jumlahnya menjadi 194,72 juta jiwa.

Bank Dunia mengakui sengaja ukuran kemiskinan yang berbeda dari definisi kemiskinan nasional yang digunakan oleh sebagian besar pemerintahan dunia.

"Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda," tulis Bank Dunia dalam Lembar Faktanya.

Menurut Bank Dunia, garis kemiskinan nasional ditetapkan oleh pemerintah dan dikhususkan untuk konteks kondisi negaranya sendiri. Garis kemiskinan itu biasanya digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti menargetkan dukungan bagi masyarakat miskin.

Sedangkan standar garis yang dibuat Bank Dunia ditujukan untuk membandingkan negara-negara dengan standar global dan memantau kemajuan di seluruh dunia dalam pengurangan kemiskinan.

"Garis kemiskinan nasional Indonesia tetap menjadi ukuran yang paling relevan untuk diskusi kebijakan khusus negara, sementara ukuran kemiskinan global yang baru dimaksudkan untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain," tulis Bank Dunia.

Bila mengacu pada garis kemiskinan terbaru Bank Dunia untuk kategori UMIC, tentu garis kemiskinan bagi Indonesia yang sebesar USD8,30 per hari (sekitar Rp1.512.000 per orang per bulan) jauh berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS pada September 2024 yang sebesar Rp595.242 per orang per bulan.

Dengan garis kemiskinan itu, BPS pun menganggap, jumlah orang miskin di Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa, jauh lebih sedikit dibanding jumlah yang diperkirakan Bank Dunia dengan standar terbarunya.

"Garis kemiskinan resmi Indonesia ditetapkan di tingkat provinsi (terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan) dan tingkat kemiskinan mencapai 8,57 persen pada September 2024," tulis Bank Dunia.