Pin It

20250618 Fadli Zon Tegaskan Penulisan Sejarah Mei 1998 Harus Berdasar Fakta dan Bertanggung JawabMenteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon (Foto: Humas BKSAP DPR RI)

 

Jakarta, InfoPublik — Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menulis sejarah, terutama terkait peristiwa besar seperti kerusuhan 13–14 Mei 1998. Dalam sebuah pernyataan publik yang disampaikan di Jakarta, Fadli menanggapi secara langsung perdebatan lama seputar isu “perkosaan massal” yang dikaitkan dengan kerusuhan tersebut.

Fadli menyatakan, penulisan sejarah harus didasarkan pada fakta yang terverifikasi, bukan hanya pada opini atau narasi yang belum memiliki dukungan bukti hukum dan akademik yang kuat. Ia mengapresiasi kepedulian masyarakat terhadap sejarah reformasi, tetapi menekankan bahwa penggunaan istilah sensitif seperti “massal” perlu dikaji secara hati-hati.

“Berbagai tindak kekerasan terjadi pada masa itu, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait istilah ‘perkosaan massal’, perlu kehati-hatian karena data faktualnya tidak pernah konklusif,” ujar Fadli, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Selasa (17/6/2025).

Menbud Fadli Zon dengan tegas mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang masih terjadi hingga kini. Ia menolak anggapan bahwa klarifikasi istilah ini berarti mengabaikan penderitaan para korban.

“Sebaliknya, segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual adalah pelanggaran nilai kemanusiaan paling dasar. Tapi kita juga tidak bisa membangun sejarah di atas asumsi, apalagi menyangkut kehormatan bangsa,” tegasnya.

Menurut Fadli, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pasca-kerusuhan juga tidak memuat data yang lengkap dan spesifik terkait korban, lokasi, maupun pelaku dari peristiwa yang disebut-sebut sebagai “perkosaan massal”.

Sejarah Peran Perempuan

Terkait kritik bahwa narasi perempuan dihapus dari penulisan sejarah, Fadli menepis tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa peran perempuan justru diperkuat dalam struktur narasi terbaru buku Sejarah Indonesia yang tengah disusun oleh kementeriannya.

Beberapa isu strategis yang telah masuk dalam buku sejarah itu antara lain:

  • Sejarah organisasi perempuan pada era Kebangkitan Nasional
  • Peran perempuan dalam diplomasi dan perjuangan militer
  • Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
  • Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender dalam kerangka SDGs

“Sejarah perempuan bukan dihapus, tapi justru dikuatkan. Karena sejarah bangsa tidak bisa lepas dari kontribusi luar biasa para perempuan,” jelas Fadli.

Menteri Fadli Zon juga menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam menyusun narasi sejarah yang berimbang dan akuntabel. Ia mengajak berbagai kelompok masyarakat, khususnya komunitas perempuan dan akademisi, untuk berdialog secara langsung dalam forum-forum publik yang akan segera digelar.

“Sejarah bukan milik penguasa, bukan pula milik satu kelompok. Sejarah adalah milik bersama, dan karenanya, harus ditulis bersama dengan tanggung jawab dan empati,” ungkap mantan anggota DPR RI tersebut.

Dalam waktu dekat, Kementerian Kebudayaan akan membuka diskusi publik terbuka sebagai bagian dari proses finalisasi penulisan buku sejarah nasional terbaru. Diskusi ini diharapkan menjadi wadah bagi masukan konstruktif yang merefleksikan pluralitas pengalaman dan narasi masyarakat Indonesia.

Pernyataan Fadli Zon menjadi pengingat bahwa dalam menulis sejarah, terutama sejarah yang menyangkut luka kolektif bangsa, perlu kehati-hatian, verifikasi akademik, dan kesadaran penuh akan dampak sosialnya. Ketegasan ini bukan berarti menutup luka, melainkan ingin memastikan bahwa setiap bab sejarah ditulis dengan fakta, bukan fiksi atau tekanan opini.

“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang tanggung jawab kita hari ini dan masa depan. Mari kita bangun narasi sejarah yang mencerdaskan, mempersatukan, dan membangun empati,” tutup Fadli.